opinion


Aku marah.

Aku marah karena aku malu. Aku malu karena telah pouring my heart and emotions out kepada orang yang bahkan tidak peduli.

I made myself vulnerable so easily, so foolishly. I trusted you too quickly. I thought you were cool once, but now I don’t see why on earth you should be different than other people that only seem cool on the outside but don’t give any damn about other people on the inside.

Maybe I was rushing because I’m tired of people seeing through me. They thought they know me but they don’t.

But do you know what’s scarier than having misjudged a person as someone who would care and discovering that he does not actually care?

Mengira bahwa mungkin diriku memang begini dan akan selalu begini. I thought I’m more than this a person, tapi bagaimana jika inilah diriku: dangkal, kosong, dan tidak pernah puas?





-------

Aku sudah lama merasa hampa; dan sebagian diriku mengira (dan berharap) bahwa kekosongan ini dapat hilang jika aku punya teman bicara. Teman bicara yang bisa diajak mengobrol tentang hal-hal yang lebih bermakna dibanding urusan kuliah; teman bicara yang bisa diajak berdiskusi tentang emosi, alam semesta, dan reasons why God created human and created us and put us on this planet called the Earth.

That’s why I long for people who could fill up this emptiness. Dan belakangan, rasa hampa ini makin menjadi-jadi sehingga mungkin aku terlalu buru-buru dalam mencari orang-orang tersebut. Pencarianku menjadi tidak sempurna; aku menyimpulkan orang-orang yang salah sebagai orang-orang yang kuharap dapat menemaniku mengobrol.

                Egois, bukan? Mungkin karena rasa egoisku-lah yang mendorongku mengira kamu sebagai seseorang yang bisa menolongku, maka Tuhan menunjukkan padaku bahwa aku salah.

Posted on

Saturday, July 15, 2017

Category

,

,

Mungkin sering kita menemukan, di tengah kemacetan, mobil yang sering mencari-cari celah sendiri. Mobil yang semacam itulah yang menyebabkan kemacetan terasa makin menyiksa. Sudah macet, kita yang sudah bersabar bermenit-menit tahu-tahu disalip seenaknya oleh orang yang baru datang. Belum lagi kalau saat ia menyalip, ia melintang menghalangi jalan di depan kita.

Seharusnya, kalau semua mobil itu berjalan lurus saja tanpa ada yang menyalip, kemacetan dan keruwetan lalu lintas akan lebih mudah untuk diurai dan dilewati.

Pengalaman seperti itulah yang baru saja saya rasakan.

Saat saya berusaha untuk tetap lurus, tetap berjalan sebagaimana mestinya, tahu-tahu ada orang-orang yang ingin 'menyalip' dan mencari jalan pintas.

Dan saya, karena saya tidak menginginkan konflik, membiarkan itu terjadi.

Sebenarnya bisa saja saya melapor. Bisa saja saya berteriak dan menjadi whistle blower. Tapi saya berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa Allah Maha Tahu. Bahwa setiap perbuatan manusia akan dibalas setimpal dengan apa yang telah ia perbuat. Bahwa Allah Maha Adil. Bahwa 'Tuhan tahu, tapi menunggu' (Edensor, Andrea Hirata). Tapi terkadang mengingat hal ini membuat saya tidak dapat menahan perasaan.

Rasanya mau meledak.

Jalan Pintas atau Jalan Lurus?

Posted on

Thursday, April 16, 2015

Category

,

"Amar Ma'ruf Nahi Munkar."


Ucapan tersebut sering saya dengar akhir-akhir ini, khususnya di sekolah, disampaikan oleh guru-guru di kelas. Mungkin mereka ingin mengingatkan kami, murid-muridnya yang sebentar lagi (in sya Allah) lulus dan keluar dari lingkungan mereka, menuju dunia masyarakat yang lebih luas.


Awalnya saya menanggapi ucapan ini dengan biasa saja, bahkan mungkin hanya sebentar-sebentar saya ingat, lalu tertimbun kembali oleh hal-hal lain. Tapi suatu hari, perkataan salah seorang guru menjadikan ucapan ini bermakna lain untuk pertama kalinya.

           "Kalian harus ingat selalu: Amar Ma'ruf Nahi Munkar, berbuatlah kebaikan dan cegahlah keburukan. Memang perkataan ini seakan mudah saja dilaksanakan."

          "Amar Ma'ruf, berbuat kebaikan itu memang sebenarnya mudah. Misalnya barang orang lain terjatuh, kita tinggal mengambilkannya dan kita telah melaksanakan Amar Ma'ruf."

          "Tetapi Nahi Munkar, mencegah orang lain berbuat buruk itu jauh lebih sulit. Jangankan mencegah orang lain, mencegah diri sendiri pun tidak selalu berhasil."


Dan kalimat terakhir tadi membuat saya berpikir. Benarlah ucapan beliau. Mencegah keburukan itu perlu keberanian dan usaha ekstra dibanding berbuat kebaikan. Padahal Nahi Munkar itu hukumnya wajib dalam ajaran agama yang saya anut. Mengapa begitu sulit?

Banyak juga alasan yang terpikir oleh saya, tapi akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan: karena kita takut. 

Kita takut dikatakan 'sok alim', kita takut dijauhi orang yang kita tegur, kita takut tidak akan bisa hidup tenang lagi.

Anehnya, kita selalu takut, walaupun pelakunya adalah orang terdekat kita sendiri. (Menurut saya, justru karena mereka adalah orang terdekat, kita semakin segan untuk menegur karena takut akan perubahan sikap mereka terhadap kita.)


Manusia memang pada dasarnya tidak senang terhadap perubahan, walaupun perubahan itu membawa kebaikan. Manusia senang kepada hal-hal lama yang telah menjadi kebiasaan dan bagian hidup, walaupun itu buruk bagi mereka, karena mereka telah terjebak dalam zona nyaman mereka.
Begitu juga dengan saya.

Karena saya juga begitu, maka lebih mudah untuk saya untuk memahami mengapa orang lain melakukan ini dan itu - walaupun hal tersebut buruk - saya akan berpikir, 'Oh, mungkin memang begitu yang biasanya mereka lakukan'. 


Tadi siang, guru agama saya berkata bahwa hukum melakukan Nahi Munkar adalah wajib. Teman saya juga bercerita bahwa Allah pernah mengazab suatu kaum yang buruk perilakunya tanpa menyelamatkan seorang yang saleh di antara mereka, dikarenakan orang tersebut tidak pernah mencegah teman-temannya berbuat buruk walaupun ibadahnya baik.

Sekarang, setelah saya mengetahui ini, beranikah saya melakukan Nahi Munkar?

Saya harap begitu.

-NS





"Amar Ma'ruf Nahi Munkar"

Posted on

Tuesday, September 9, 2014

Category

,