June 2018

berinteraksi dengan manusia lain memang memerlukan usaha dari diri sendiri. misalnya, usaha untuk mendengarkan, memahami, dan berpikir dari sudut pandang manusia tersebut. namun, usaha yang diperlukan untuk berinteraksi dengan manusia lain tidaklah sama: ada manusia-manusia yang rumit, berlapis-lapis, dan tersembunyi. manusia-manusia seperti inilah yang sering kali menyendiri, karena tidak banyak manusia lain yang mampu -- yang bersedia -- untuk menyelami kedalaman dan kerumitan pikiran manusia tersebut. oleh karena itu, jenis manusia ini menjadi tak tertahankan dan mengesalkan bagi manusia lainnya. mereka adalah manusia-manusia yang sulit dipahami dan tidak tembus pandang. usaha yang diperlukan bagi manusia lain untuk menyelami diri mereka menjadi sangat besar dan melelahkan. manusia-manusia ini unpredictable. jika tak kuat mental, jangan kaget jika kesabaran menjadi mudah habis dan berujung malas melanjutkan interaksi.

aku mengenal seorang manusia dengan sifat demikian. luar biasa pendiam; dia tidak bicara jika ia tidak merasa perlu berkontribusi -- bahkan, aku kira terkadang dia hanya berbicara agar tidak dianggap tak sopan. selama dua tahun aku mengenalnya, bagiku, interaksi kami luar biasa melelahkan. selama ini, belum pernah emosiku begitu terombang-ambing akibat pertemanan, hingga aku berteman dengan dia. selama ini, belum pernah aku begitu sering merasa tersinggung karena mengira aku tak berharga di mata manusia lain, hingga aku berteman dengan dia. selama ini, belum pernah aku begitu sering dikecewakan oleh satu manusia lain, selain dia. 

namun, selama ini, belum pernah aku memiliki keinginan sebesar ini untuk mengenal seseorang dengan dekat, hingga aku bertemu dengan dia. selama ini, belum pernah aku memiliki harapan begitu besar akan kemungkinan seseorang untuk berubah, selain kepada dia. selama ini, belum pernah aku masih berkeras untuk berusaha bahkan setelah aku dikecewakan berkali-kali, hingga aku berteman dengan dia. 

sayangnya, akhir-akhir ini begitu seringnya aku dikecewakan hingga akhirnya aku berusaha untuk menahan diri agar aku tidak terlalu tinggi berharap padanya. sayangnya, hal ini telah menjadi semacan 'kebiasaan' untukku, hingga akhirnya pada hari ini aku memandangnya rendah; memandangnya tidak menyukai aku dan tidak akan pernah menyukai aku; memandangnya tidak pantas untuk berteman denganku dan bahwa aku pantas untuk mendapatkan teman-teman yang lebih bisa menyayangiku dan bukannya membuatku terluka berkali-kali. 

to me, rejection still hurts even though it has happened many, many times.

akhir-akhir ini aku lebih mengerti makna frasa "we accept the love we think we deserve" dari karya Stephen Chbosky, the Perks of being a Wallflower. hanya diri kita sendiri yang memahami makna dan nilai diri kita. jika kita merasa rendah diri akibat perlakuan manusia lain kepada kita, itu artinya kita menerima bahwa manusia tersebut "benar", karena toh kita tidak mencegah manusia itu berbuat demikian kepada kita. 

jika aku mengingat apa yang terjadi padaku, apa yang aku rasakan sebagai akibat dari perbuatan sang manusia pendiam (yang kuharapkan dapat menjadi kawanku dan menganggapku kawan pula), aku merasa bahwa perbuatannya yang berulang kali menyakitiku (meskipun mungkin saja ia tidak sadar) adalah pertanda dari Tuhan bahwa manusia itu tidak baik untukku. bahwa manusia itu tidak baik untuk kehidupanku, dan perlu sesegera mungkin disingkirkan-Nya. atau, mungkin pula ini adalah bagian dari rangkaian proses-Nya dalam menyingkirkan manusia ini dari kehidupanku. 

namun, jika aku telah menyadari hal ini, mengapa aku masih terus berdoa agar aku diberikan kesabaran dan kemudahan dalam usahaku untuk berteman dengan sang manusia pendiam? mengapa aku masih bertahan dalam pertemanan ini? mengapa aku tidak berhenti berharap bahwa suatu hari dia bisa berubah hangat padaku, dan membuatku merasa bahwa aku benar-benar dianggapnya sebagai teman sesungguhnya?

aneh memang. kadang-kadang aku tidak memahami diriku sendiri.

bukannya aku hidup sendirian, kok. aku tidak hidup terisolasi dari manusia lain, di pulau antah berantah. di sekelilingku banyak kok, organisme satu spesies. apalagi, sekarang masa liburan. aku ada di rumah -- setidaknya ada tiga orang yang menemaniku dari bangun tidur hingga kembali tidur lagi.

atau justru itu?

selama setahun ke belakang ini, aku termasuk lebih jarang pulang ke rumah dibandingkan dengan semester-semester sebelumnya. bukannya tidak ingin, tetapi memang beban kesibukan perkuliahan dan kepanitiaan yang membuatku tidak dapat pulang sesering dulu. karena inilah, setiap kali aku pulang ke rumah, ada saja hal yang berubah -- baik itu adanya perabot baru atau karena adanya perubahan tata letak perabot di rumah. karena ini juga, aku seringkali kebingungan mencari barang-barang yang berpindah tempat atau berganti wujud menjadi lebih baru. secara fisik, rumahku terasa 'asing'. aku harus kembali beradaptasi dan mempelajari letak barang-barang di dalamnya.

selain fisik rumahku, aku juga mulai merasa terasing oleh penghuninya: kedua orang tuaku.

bukannya kami jarang bertemu; setahun ke belakang, frekuensi mereka mengunjungiku di bandung sebenarnya malah bertambah, karena adikku baru memasuki bangku kuliah tahun lalu. kedua anak mereka ada di bandung sekarang. namun, aku merasa tidak sedekat aku yang dulu dengan mereka. aku juga bingung mengapa.

aku merasa selama setahun ke belakang ini aku mengalami pertumbuhan dan pendewasaan secara drastis -- dan mereka tidak menyaksikan semua itu. mungkin memang salahku, tidak menceritakan apa-apa yang aku alami kepada mereka. namun, seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya kejadian yang membuatku tertampar bahwa aku harus segera menjadi orang dewasa, aku semakin enggan untuk menceritakan masalah-masalahku kepada mereka. mereka semakin tua; aku tidak ingin membebani mereka dengan masalah-masalah yang malah membuat mereka semakin khawatir.

oleh karena itu, aku bercerita kepada orang-orang yang 'ada' di sekitarku: teman-teman dekatku di perkuliahan. menurutku, kami sama-sama 'senasib' karena kami adalah anak-anak rantau yang orangtuanya tidak dapat mendampinginya di sisinya selama perkuliahan di bandung. rasa 'senasib' ini membuat kami merasa harus saling menjaga dan melindungi; saling mendengarkan dan memberikan saran ataupun nasihat bila dirasa perlu -- karena tidak lagi ada orang tua yang dapat melakukannya untuk kami 24/7. kami menjadi lebih dekat dari sebelumnya; secara emosional.

ini membuatku merasa aku telah memiliki keluargaku sendiri di bandung. di kampus gajah, di ruang kelas, di lab instruk, di himpunan, di kantin saraga atau di east corner kadang-kadang. aku senang berangkat kuliah karena aku senang akan ide bahwa aku akan bertemu keluargaku. setiap hari.

ketika aku pulang ke rumah pada akhir semester lalu, untuk pertama kalinya aku merasa sedih harus meninggalkan bandung. waktu kepulanganku aku undur sejauh yang dapat kulakukan. sambil menunggu, aku mengisi hari-hari awal liburan semesterku dengan mengobrol bersama teman-temanku; keluargaku. berbincang dengan mereka membuatku merasa senang; merasa puas.

sekarang, ketika aku sudah di rumah, sayangnya aku tidak dapat mendapatkan perasaan yang sama dengan berbincang dengan keluargaku.

ingin mengobrol, tapi sama siapa?

Posted on

Monday, June 11, 2018

Category

,


Someone said that to be able to love properly, you must first love yourself. You might feel like you are the hardest thing in the world to love. On the other hand, to be able to fully, truly love yourself, you must feel that you’re worth-loving – one of the way to make you feel so is by knowing that you are loved by others. But then again, to be able to love other people properly, people should love themselves first. 

It’s like a circle without a start and an end.
Anyway, we can’t control how other people feel about us; we can’t force them to love us.
What we can do is control how we feel about ourselves.

So, loving yourself is both the hardest and the easiest thing you can do.

in the light of 'loving yourself'

Posted on

Saturday, June 2, 2018

Category

,