Aku marah.

Aku marah karena aku malu. Aku malu karena telah pouring my heart and emotions out kepada orang yang bahkan tidak peduli.

I made myself vulnerable so easily, so foolishly. I trusted you too quickly. I thought you were cool once, but now I don’t see why on earth you should be different than other people that only seem cool on the outside but don’t give any damn about other people on the inside.

Maybe I was rushing because I’m tired of people seeing through me. They thought they know me but they don’t.

But do you know what’s scarier than having misjudged a person as someone who would care and discovering that he does not actually care?

Mengira bahwa mungkin diriku memang begini dan akan selalu begini. I thought I’m more than this a person, tapi bagaimana jika inilah diriku: dangkal, kosong, dan tidak pernah puas?





-------

Aku sudah lama merasa hampa; dan sebagian diriku mengira (dan berharap) bahwa kekosongan ini dapat hilang jika aku punya teman bicara. Teman bicara yang bisa diajak mengobrol tentang hal-hal yang lebih bermakna dibanding urusan kuliah; teman bicara yang bisa diajak berdiskusi tentang emosi, alam semesta, dan reasons why God created human and created us and put us on this planet called the Earth.

That’s why I long for people who could fill up this emptiness. Dan belakangan, rasa hampa ini makin menjadi-jadi sehingga mungkin aku terlalu buru-buru dalam mencari orang-orang tersebut. Pencarianku menjadi tidak sempurna; aku menyimpulkan orang-orang yang salah sebagai orang-orang yang kuharap dapat menemaniku mengobrol.

                Egois, bukan? Mungkin karena rasa egoisku-lah yang mendorongku mengira kamu sebagai seseorang yang bisa menolongku, maka Tuhan menunjukkan padaku bahwa aku salah.

Posted on

Saturday, July 15, 2017

Category

,

,

Leave a Reply