Aku marah.
Aku marah karena aku malu. Aku malu karena
telah pouring my heart and emotions out kepada orang yang bahkan tidak peduli.
I made myself vulnerable so easily, so
foolishly. I trusted you too quickly. I thought you were cool once, but now I
don’t see why on earth you should be different than other people that only seem
cool on the outside but don’t give any damn about other people on the inside.
Maybe I was rushing because I’m tired of people
seeing through me. They thought they know me but they don’t.
But do you know what’s scarier than having
misjudged a person as someone who would care and discovering that he does not
actually care?
Mengira bahwa mungkin diriku memang
begini dan akan selalu begini. I thought I’m more than this a person, tapi bagaimana
jika inilah diriku: dangkal, kosong, dan tidak pernah puas?
-------
Aku sudah lama merasa hampa; dan sebagian
diriku mengira (dan berharap) bahwa kekosongan ini dapat hilang jika aku punya
teman bicara. Teman bicara yang bisa diajak mengobrol tentang hal-hal yang
lebih bermakna dibanding urusan kuliah; teman bicara yang bisa diajak
berdiskusi tentang emosi, alam semesta, dan reasons why God created human and
created us and put us on this planet called the Earth.
That’s why I long for people who could fill up
this emptiness. Dan belakangan, rasa hampa ini makin menjadi-jadi sehingga
mungkin aku terlalu buru-buru dalam mencari orang-orang tersebut. Pencarianku
menjadi tidak sempurna; aku menyimpulkan orang-orang yang salah sebagai
orang-orang yang kuharap dapat menemaniku mengobrol.
Egois,
bukan? Mungkin karena rasa egoisku-lah yang mendorongku mengira kamu sebagai
seseorang yang bisa menolongku, maka Tuhan menunjukkan padaku bahwa aku salah.