Aneh ya, judul posting kali ini.
Sebelum mulai, hi again everyone, sorry for the long absence. I've been busy with my "new life".
Yep, a life of a no-longer-a-student-but-a-'mahasiswa'.
And now, let's start.
Karena (alhamdulillah..) saya sudah libur dan berada di rumah kembali, saya akhirnya punya waktu luang lagi. Waktu luang ini saya gunakan untuk hal-hal yang 'produktif', misalnya untuk tidur, membaca novel, dan 'catching up' dengan teman-teman lama.
Di antara aktivitas saya yang super produktif ini, saya menyempatkan diri melihat foto-foto event-event yang katanya 'hip' akhir-akhir ini, lewat Instagram. Misalnya, event yang disebut event 'dugem dan dance' terbesar di Jakarta. Dari foto-foto di sana, saya mendapati banyak akun orang-orang 'hits'. Kemudian saya lihat pula foto-foto mereka, yang kebanyakan menggambarkan aktivitas mereka sehari-hari.
Dalam hati saya terbesit rasa ingin hidup seperti mereka, hidup yang care free, hidup yang kelihatannya benar-benar "hidup". Mereka bersenang-senang, making memories bersama teman-teman mereka. Sementara itu, saya di sini sehari-hari berkutat dengan kuliah dan tanggung jawab saya yang rasanya tak habis-habis. Rasanya saya tidak making memories.
Tapi di sisi lain, saya bahagia dengan kehidupan yang saya jalani. Saya bahagia dapat berkuliah di kampus yang saya idam-idamkan sejak kecil. Saya bahagia punya teman-teman yang baik, memotivasi saya untuk belajar. Saya bahagia punya kehidupan yang simple, tidak muluk-muluk hingga membuat kedua orang tua saya cemas.
Jujur, saya ingin sesekali mencoba 'hidup dalam sepatu orang-orang hits' tadi. Saya penasaran, bagaimana mereka melihat hal-hal yang menurut mereka biasa namun menurut saya luar biasa. Dan sebaliknya, bagaimana pendapat mereka tentang hal-hal yang menurut saya biasa, namun luar biasa bagi mereka.
Tetapi, bila Allah memberikan saya pilihan untuk memilih jalan hidup, saya memilih hidup seperti yang saya jalani sekarang.
Despite all those glamour dresses and cliques.
2015
Besok tanggal 27 Juli. Besok hari pertama kembali ke sekolah.
Ternyata, tidak untuk saya.
Biasanya, malam ini saya sibuk menyetrika kerudung dan menyiapkan seragam. Biasanya, malam ini saya memasukkan buku dan tempat pensil ke dalam tas yang sudah dicuci bersih.
Sekarang, saya bukan anak sekolah lagi.
Di malam-malam seperti inilah saya merasa sangat rindu menjadi anak sekolah. Anak sekolah yang setiap hari bangun subuh, berangkat pagi-pagi, pulang sore, dan tidur terlambat malamnya karena belajar dan mengerjakan PR untuk esok hari. It's a tiring routine, but I sure miss it.
Tidak terasa, sudah dua bulan saya 'tidak menjadi anak sekolah.'
Sebenarnya sudah lama saya menanti-nanti saat ini. Saat di mana akhirnya saya tidak perlu ikut merasakan 'rusuhnya' hari pertama sekolah. Saat di mana saya bisa 'lepas' dari rutinitas hari sekolah. Tapi, sekarang saya malah ingin memutar waktu kembali saat saya masih kelas 12 dulu.
Sebentar lagi, fase baru hidup saya akan dimulai. Saya tidak lagi menjadi sekadar 'siswa', tetapi 'mahasiswa'.
Belum tentu saya akan bertemu dengan orang-orang menyenangkan seperti di SMA dulu. Belum tentu saya akan memiliki teman-teman sehebat teman-teman saya sewaktu SMA. Belum tentu saya akan diajar oleh dosen-dosen seperti guru-guru saya saat SMA.
Orang bilang masa-masa duduk di bangku sekolah adalah masa-masa terindah.
Saya harap itu salah.
I hope better things are yet to come. I hope the things we left behind won't be better than the things we're about to meet.
Sebentar lagi saya resmi jadi mahasiswa. Ya, sangat tidak terasa betapa waktu berjalan dengan sangat cepat.
Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa saya sejak dua tahun lalu. Tanggal 9 Mei lalu, saat saya sedang menemani adik saa menunggu mulainya konser Katy Perry, orang tua saya menyampaikan sebuah kabar gembira bagi saya lewat telepon. Alhamdulillah, saya menjadi mahasiswa di perguruan tinggi almamater kedua orang tua saya.
********************
Berarti, sebentar lagi saya akan meninggalkan lingkungan yang selama ini saya kenal. Saya akan bertemu orang-orang baru, saya akan belajar di tempat yang baru, dan saya akan mempelajari hal-hal dan kebiasaan-kebiasaan baru.
Selama 12 tahun saya bersekolah di lingkungan yang sama. Sekolah saya adalah sebuah yayasan yang memiliki lembaga pendidikan mulai TK sampai SMA. Saya di sana sejak SD. Maka tentu saja, saya tidak banyak berganti teman saat saya berganti sekolah.
Dan baru-baru ini saya berpikir, bagaimana saya akan beradaptasi di lingkungan dengan orang-orang yang sama sekali berbeda?
Saya bukan orang yang senang bersosialisasi. Saya lebih suka membaca buku di rumah daripada pergi ke prom night. I'm not great in small talks. Kadang dengan teman dekat pun saya lebih banyak diam dan membiarkan mereka terus mengobrol, sedangkan saya mendengar dan mengamati. Apalagi, teman-teman baru saya mengira saya orang yang judes waktu mereka belum mengenal saya (benar, mereka ngasih tau saya).
Jujur, sebagian diri saya merasa takut sekarang. Takut nantinya saya tidak bisa bergaul dengan bebas sebagaimana saya bergaul dengan teman-teman SMA saya, yang kebanyakan sudah mengenal saya sejak SD. Takut saya tidak akan mendapat teman-teman sebaik teman-teman yang saya tinggalkan.
Tapi, sebagian dari diri saya merasa bahwa ini adalah kesempatan baik to start over. Pasti semua orang pernah mengalami hal-hal memalukan ataupun yang membuat mereka merasa tidak enak. Di setiap lingkungan, tidak mungkin tidak ada cap pada orang-orang tertentu. Kadang saya ingin terlepas dari apa yang ada di sini, tapi dengan teman-teman yang sedikit sekali berganti sejak SD, kemungkinan benar-benar 'bebas' sepertinya sangat kecil. Saya tidak akan berkembang jika lingkungan saya tidak berubah.
Lagipula, saya lelah dengan lingkungan saya yang lama. Begitu lelahnya hingga di waktu-waktu tertentu saya berharap bisa cepat-cepat pindah ke Bandung dan kuliah.
Jadi, saya rasa memang all things come with both good and bad sides.
Mungkin saya harus lebih sering tersenyum dan terlihat ramah.
Mungkin sering kita menemukan, di tengah kemacetan, mobil yang sering mencari-cari celah sendiri. Mobil yang semacam itulah yang menyebabkan kemacetan terasa makin menyiksa. Sudah macet, kita yang sudah bersabar bermenit-menit tahu-tahu disalip seenaknya oleh orang yang baru datang. Belum lagi kalau saat ia menyalip, ia melintang menghalangi jalan di depan kita.
Seharusnya, kalau semua mobil itu berjalan lurus saja tanpa ada yang menyalip, kemacetan dan keruwetan lalu lintas akan lebih mudah untuk diurai dan dilewati.
Pengalaman seperti itulah yang baru saja saya rasakan.
Saat saya berusaha untuk tetap lurus, tetap berjalan sebagaimana mestinya, tahu-tahu ada orang-orang yang ingin 'menyalip' dan mencari jalan pintas.
Dan saya, karena saya tidak menginginkan konflik, membiarkan itu terjadi.
Sebenarnya bisa saja saya melapor. Bisa saja saya berteriak dan menjadi whistle blower. Tapi saya berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa Allah Maha Tahu. Bahwa setiap perbuatan manusia akan dibalas setimpal dengan apa yang telah ia perbuat. Bahwa Allah Maha Adil. Bahwa 'Tuhan tahu, tapi menunggu' (Edensor, Andrea Hirata). Tapi terkadang mengingat hal ini membuat saya tidak dapat menahan perasaan.
Rasanya mau meledak.